SemangatKarin.com

Catatan Harian dan Semangat Hidup Seorang Penderita Lupus

Serabi Mbak Yani, Harganya Pakai Hati

IMG_0252
Pak Yani sedang memanggang serabi di gerobaknya, Jumat, 24/11/2017 |Karina Lin

Ketika menyebut kata “serabi” apa yang segera terlintas? Kue? Ya, benar. Kota Bandung? Iya juga. Kota Solo alias Surakarta? Betul juga. Namun disini saya hendak bercerita sedikit mengenai serabi yang terakhir itu lho, dari Kota Surakarta. Sebuah serabi dengan kisah yang bikin nyess. Jadi tak hanya rasanya saja yang bikin nyess.

Saya sudah naksir dengan serabi yang mangkal di pertigaan Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Surakarta dari semenjak melihatnya pertama kali tiba di Kota Surakarta Hadiningrat di hari Rabu pagi (22/11). Namanya Surabi Mbak Yani. Pemiliknya, sesuai dengan merk jualan serabinya, bernama Bu Yani. Kesempatan itu datang. Jumat pagi (24/11), sesaat sebelum menuju ke Graha Bakorwil Soloraya, saya nyamperin Surabi Mbak Yani. Letaknya tak jauh dari Hotel Keprabon – tempat saya menginap selama di Solo.

Bu Yani yang usianya sudah masuk sepuh (aduh saya lupa berapa. Kalau tak salah 54 tahun) dengan cekatan meracik kue serabi solo diatas perapian yang tersusun rapih di gerobak serabinya. Gerobaknya berbahan stainless steel, berukuran 1,5×0,5×1,5 meter. Ada empat perapian serabi berjejer horizontal di sisi kanan gerobak. Lalu diatasnya terdapat kuali-kuali kecil (yang telah menghitam) berbahan timah. Bu Yani mengaduk-ngaduk adonan berwarna putih lalu menuang ke dua buah kuali yang dibawahnya ada tungku kecil berisi arang panas. Lalu sedikit menuangkan cairan putih diatas adonan yang sama. Selanjutnya ia menutup kuali tadi.

Selang beberapa menit, tutup kuali dibuka dan mulailah dia menaburkan cokelat beras (meises), potongan pisang diatas kue serabi yang masih dipanggang tadi. Kuping kuali lantas disisipi kayu. Ternyata untuk memutar kuali. Tujuannya supaya panas tungku mematangkan kue secara merata. Tak berapa lama, ia mencungkil serabi menggunakan sutil. Segera dipindahkan serabi yang matang ke dalam rak kaca yang berada di sebelah perapian. Aromanya yang harum sungguh menggoda iman, aroma serabi yang sedap juga menghangatkan kembali beberapa potong serabi yang berada lebih dulu dalam etalase kaca di gerobak tadi.

Bu Yani meraih kotak karton lalu mulai menata satu per satu serabi yang telah matang ke dalam kotak tadi. Sebelum menumpuk serabi diatasnya, ia selalu menyisipkan daun pisang dulu. Ada sekitar 5-6 potong surabi dalam kotak yang kemudian diberikan kepada seorang lelaki muda, pembelinya.

Setelah beres pesanan tadi, baru deh saya mulai mencuap. Tapi Bu Yani tiba-tiba bergegas. “Lho mau kemana, bu?” Rupanya beliau hendak ada urusan. Jadilah yang selanjutnya menemani obrolan saya mengenai serabi ini, suaminya Bu Yani.

Tak lama setelah Bu Yani pergi (menggowes sepeda), sama seperti istrinya – Pak Yani dengan cekatan meracik serabi. “Sudah jualan berapa lama disini, pak?” Tanya saya. Jawabannya bikin saya terkejut, yakni lebih dari 20 tahun. Lalu meluncurlah cerita dari Pak Yani yang ramah ini.

Sebenarnya Dilarang

IMG_0248
Serabi yang sedang dipanggang dan sebentar lagi matang |Karina Lin

Awalnya Pak Yani dan istri berdagang serabi tidak ditempat yang sekarang. Baru mulai tahun 2000 mereka berjualan di perempatan ini. “Dulu banyak sekali yang berjualan disini,’ katanya mengenang. Namun karena ada peraturan larangan berjualan disepanjang Jalan Slamet Riyadi lantaran banyaknya PKL, menampilkan image kumuh – yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surakarta, maka sedikit demi sedikit pedagang disini berkurang. Aturan larangan berjualan berlaku mulai pukul 8-9 WIB.

Pak Yani dan istri pun sesungguhnya menyadari peraturan ini. Seharusnya mereka tidak berjualan disini. Oya Mereka mulai mangkal di perempatan mulai pukul 7 pagi sampai habis. Setiap hari mereka membawa adonan sebanyak satu panci yang bisa dibuat sekira 50 potong serabi. Bahan-bahannya, mereka beli setiap pagi (subuh tepatnya). Lanjut, diadon. “Hanya butuh waktu setengah jam kok,” info Pak Yani kepada saya. Dengan cara demikian, jadinya serabi yang mereka jual, selalu segar.

Balik ke lokasi dagangan yang terlarang. Lantas kalau sadar, mengapa masih berjualan? “Semua demi perut,” katanya. Pak Yani dan istri memiliki dua anak dari hasil pernikahan mereka di tahun 1988. Anak pertama sulung, belum menikah dan sudah bekerja. Anak kedua, perempuan, sudah menikah dan telah memiliki anak. Jadi Pak Yani dan istri ini telah menjadi kakek dan nenek, dan idealnya dengan keadaan seperti ini, mereka cukup menikmati masa tua misalnya ngemong cucu.

Namun keduanya tak mau merepotkan anak-anaknya. Sehingga berdagang surabi-lah. Terlebih, dikatakan Pak Yani – istrinya telah menjual kue berbahan tepung beras ini sedari muda. “Ibu jualan serabi sejak muda, sejak sebelum menikah hingga menikah dengan saya,” kata Pak Yani, yang aslinya dari Jogja. Sedangkan Bu Yani merupakan asli Wong Oslo eh Solo.

Dimarahi Istri

IMG_0245
Bu Yani menaruh surabi yang sudah matang ke dalam kotak, ada yang beli |Karina Lin

Berapa harga serabi yang dijual Pak Yani dan istri? Murah loh. Cukup Rp2 ribu saja dan untuk sampai ke harga yang dipatok sekarang, prosesnya panjang. Awalnya dihargai Rp25 per potong kue serabi. Astaga! Apa tidak terlalu murah ya? Mekipun bahan-bahan pembuat serabi mudah didapat. Tetap saja semua membutuhkan modal. “Harga ini sebelum tahun 2000. Mulai tahun 2000, pelan-pelan harganya naik menjadi Rp800, Rp1000,” kisahnya.

“Saya nggak bisa naikkin harga tinggi-tinggi karena nanti dimarahi istri,” kata Pak Yani sambil terkekeh. Lho, kenapa? Rupanya Bu Yani sengaja, Bu Yani bersikukuh menetapkan harga jual serendah mungkin lantaran ia memikirkan konsumennya. Kalau dihargai mahal-mahal, kasihan konsumen serabi. Takut tidak terbeli. Sehingga dianutlah prinsip, lebih baik untung sedikit daripada untung besar namun memberatkan konsumen. Saya jadi trenyuh mengetahui hal ini.

Tiba-tiba saya teringat pada surabi Notosuman. Bukan pasal harganya loh. Apa sih bedanya dengan surabi bukan Notosuman namun masih dijual di wilayah Solo? “Sama aja. Cuma beda kampung pembuatannya. Notosuman itu nama kampungnya. Aslinya semua adalah serabi Solo,” terang Pak Yani.

Saya manggut-manggut saja. Lalu, sebenarnya bagaimana sih serabi yang enak itu? Penasaran lho. Menurut Pak Yani, serabi yang delicious itu harus cocok takarannya dan banyak santannya. Ia pun mencontohkan serabi yang dijualnya dimana menggunakan 2 macam santan. Pertama adalah santan encer, yang dicampur bersama adonan tepung dan santan kental yang berfungsi sebagai topping serabi. Untuk yang rasa pandan, maka santan untuk topping pandannya berwarna hijau muda khas daun pandan.

Akhirnya (karena penasaran) saya putuskan untuk memesan serabi saja deh. Ada lima varian rasa serabi yang dijual oleh Pak Yani. Original, pandan, pisang, meises dan nangka. Saya pesan satu rasa masing-masing satu potong. Pak Yani segera membuatkan. Tangannya cekatan meracik, menuang adonan ke kuali kecil di atas perapian. Tak sampai 15 menit, jadilah semua serabi pesanan saya. Duduk di kursi kayu kecil dekat gerobak serabi Pak Yani, saya menikmati camilan tradisional tersebut. Aromanya harum lalu, hap, sepotong serabi bertoping meises masuk ke mulut. Lidah segera mencecap dan memberi signal rasa gurih. Enak dan lembut. Tapi saya tak menghabiskan semua. Hanya sanggup dua potong saja. Maklum, sebelumnya saya sudah sarapan nasi dan lagi, walaupun enak, serabi rasanya terlalu manis untuk ukuran saya (Salemba Tengah-Jakarta, 27 Desember 2017).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *