SemangatKarin.com

Catatan Harian dan Semangat Hidup Seorang Penderita Lupus

Lama Tahu di Dunia Maya, Baru Kini 2022 Bisa Bertatap Muka (Kesan-kesan Selama Kelas Jurnalisme Sastrawi XXIX)

Foto bareng kelas JS XXIX pada Rabu (7/9/2022) / Dok Kelas JS Pantau XXIX

Asyik, saya akan bertemu dengan Mas Andreas Harsono! Pikiran itu yang menari-nari di kepala saya, pasca membaca e-mail pemberitahuan lolos seleksi kelas Jurnalisme Sastrawi (JS) yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Pemberitahuan dilakukan oleh panitia kelas JS pada pertengahan Agustus 2022. Tapi di akun Instagram (Ig) Yayasan Pantau juga ada. Lucunya saat itu, saya baru sadar belum mem-follow akun Ig mereka. Setelah sadar, segera saya follow.

 

Menyebut nama Mas Andreas, siapa kah yang tidak familiar? Terlebih di kalangan aktivis. Sependek yang saya tahu, dia adalah aktivis di Human Right Watch International tapi ia juga punya jejak panjang di dunia jurnalistik. Salah satunya adalah Yayasan Pantau yang didirikan olehnya bersama teman-temannya. Dikutip dari laman pantau.or.id, disebutkan secara singkat bahwa Yayasan Pantau adalah sebuah Lembaga yang bertujuan mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas.

 

Namun (masih dikutip dari laman yang sama), awalnya Pantau bukanlah sebuah yayasan. Pantau adalah nama sebuah majalah bulanan yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada 1999. Majalah ini menurunkan laporan-laporan Panjang dan mendalam dari soal media hingga terorisme. Kala itu, Pantau jadi fenomena baru dalam dunia jurnalisme Indonesia. Pantau juga memperkenalkan cara penyajian informasi dengan bercerita (story telling) macam The New Yorker atau The Atlantic Monthly, diiringi riset mendalam, banyak referensi tetapi tetap enak dibaca.

 

Kesulitan cash flow yang kemudian mendorong keputusan menutup majalah Pantau pada Februari 2003. Penutupan ini, mengecewakan cukup banyak kontributor Pantau. Tetapi menjadi pendorong dan cikal bakal berdirinya Yayasan Pantau, yang hingga kini masih eksis dan konsisten di jalur jurnalisme.

 

Mas Andreas menjadi ketua board dan Budi Setiyono (Buset) menjadi sekretaris board. Selain menjadi salah satu orang “penting” di Yayasan Pantau, dia juga menjadi salah satu orang “penting” di AJI (Aliansi Jurnalis Independen), khususnya AJI Balikpapan.

 

Saya tahu (sebenarnya baru tahu) karena mendengar langsung ceritanya dari Novi Abdi (saya biasa memanggilnya Kan Novi), kawan di AJI Kota Balikpapan. Ketika hari pertama pelatihan, saya sempat mengirim foto bersama Mas AH ke Kak Novi. Bermula dari situlah, meluncur cerita dari Kak Novi mengenai AJI Balikpapan. Katanya, Mas Andreas itu salah satu alasan kenapa ada AJI Balikpapan.

 

“Inisiator?” tanya saya. “Dia yang ngomporin kita, entah dia sadar atau tidak, hehehe. (Tahun)  2008 itu Karin. Sama, dari pelatihan seperti Karin Ikuti sekarang,” kata Kak Novi. Sambil bercanda saya mengatakan bahwa yang di sana (dirinya dan kawan-kawan Aji Balikpapan) jadi panas dong dikomporin.

 

Kak Novi menanggapi serius. “Iya, ada 15-an orang yang panas,” sahutnya. Saya pun menyambung dengan kalimat canda, terus sampai meledug?

 

Swafoto bersama Mas Andreas Harsono disela-sela kelas pelatihan JS, Senin (5/9/2022)/ Dok pribadi

Kak Novi menuturkan bahwa zaman dulu bikin AJI (Kota) tidak sesulit sekarang. “Tapi perlu tiga tahun juga, sejak 2008-2011 (AJI Kota) persiapan, Oktober 2011 deklarasi dan tahun itu juga(AJI Kota Balikpapan) diresmikan di Kongres Makassar,” ceritanya. Ketika menyampaikan ini kepada Mas Andreas, reflek ia mengajak saya untuk berswafoto. Hasil swafoto lantas saya kirimkan ke WA Kak Novi dan direspon baik.

 

Kembali ke soal perkenalan saya dan Mas Andreas. Saya sendiri telah “lama” mengenalnya. Kata lama-nya sengaja saya sematkan tanda kutip, tersebab lama yang dimaksud adalah lama mengenal melalui atau di dunia maya. Oh ya juga melalui dunia literasi. Pertama kali mengetahui nama Andreas Harsono melalui bukunya yang berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme dan kejadian itu telah beberapa tahun lampau bahkan saya lupa kapan tepatnya. Semenjak membaca judul dan namanya di situ, entah kenapa selalu terpatri di memori saya. Rasanya keren gitu dan telah tercetus niat bahwa “Oh, saya harus kenal dan bertemu langsung dengan orang ini!”

 

Padahal ya boro-boro membaca bukunya. Isinya pun hanya sebatas tahu singkat saja dan sekarang malah telah lupa. Ini memang aib tapi tak apalah karena sebuah bentuk kejujuran. Lalu, yang saya ingat adalah mencoba mencari akun facebook-nya (fb) dan untunglah ketemu plus jatah perteman akunnya belum lah full sehingga saya masih muat dalam list pertemannya di akun fb itu. Tapi selama berteman di dunia maya dengannya, tak pernah sekalipun saya nimbrung berkomentar di postingan-postingannya atau status fb-nya. Paling jauh sebatas memberi ikon like atau emoji tertawa.

 

Sedangkan Mas Andreas yang saya ingat, pernah sekali memberi tanda like di komen saya. Saat itu saya berkomentar di postingan seseorang. Saya lupa namanya. Yang jelas saya berkomentar kepingin ikut kelas jurnalistik yang rencananya akan dimentori olehnya.

 

Baru ingat, selain dua momen itu, ada satu lagi. Saya ingat pernah membaca blog-nya dan ada satu tulisan dimana ia bercerita soal kunjungannya ke Bandar Lampung untuk mengampu kelas jurnalistik (kalau tak salah). Selama di Bandar Lampung, dirinya di-guide oleh Juwendra Asdiansyah (saya memanggilnya Bang Juwe) dan dari Bang Juwe juga, mengalir cerita mengenai Almarhumah Saidatul Fitriah.

 

Supaya tidak bingung, saya jelaskan sedikit ya. Bang Juwe ini adalah salah satu jurnalis senior, ia juga pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung. Sedangkan Almarhumah Saidatul Fitriah ialah fotojurnalis UKPM Teknokra Universitas Lampung yang tewas ditembak dalam tragedi kerusuhan di depan UBL (Universitas Bandar Lampung) pada September 1999 silam.

 

Kasus penembakan ini, sampai sekarang masih belum jelas atau menemukan titik pastinya. Siapa pelakunya masih abu-abu. Mas Andreas dalam tulisan di blog-nya tentang kunjungannya ke Bandar Lampung menceritakan mengenai hal ini.

*

 

Sengaja saya datang lebih pagi pada Senin, 5 September 2022. Ada beberapa sebab yang mendorong saya untuk ini. Pertama, pada tanggal tersebut adalah hari pertama kelas Jurnalisme Sastrawi (JS) Pantau Angkatan XXIX dimulai. Jadi saya begitu bersemangat sampai-sampai saya dibuat susah tidur. Sampai dengan jam 1 dini hari Senin-nya (5/9) pikiran saya masih terjaga walau mata terpejam.

 

Lalu yang kedua, pihak PIC kelas JS telah memberitahukan sejak beberapa hari sebelumnya bahwa pada hari pertama sebelum kelas dimulai, Akan lebih dahulu dilakukan tes swab antigen untuk semua yang akan mengikuti kelas JS. Tes swab antigen ini tentunya kita sudah paham bersama, yakni sebagai salah satu antisipasi dalam masa pandemi. Walau sudah melakukan swab pun, selama proses belajar dalam kelas tetap dianjurkan untuk mengenakan masker. Normalnya kelas JS dimulai jam 10.00 WIB. Namun khusus untuk kelas pertama, dimulai pada jam 09.00 WIB, satu jam pertama digunakan untuk tes swab tadi.

 

Ketiga, saya kepingin ngobrol-ngobrol dengan Mas Andreas. Dalam pemikiran saya – apabila datang lebih awal, tentunya kemungkinan tersebut bisa. Maksudnya, siapa tahu mentornya juga datang lebih awal dan ternyata benar hal tersebut.

 

Keempat, saya kan menggunakan transportasi umum yaitu Trans Jakarta. Tanpa harus dijelaskan berpanjang-panjang, sudah menjadi rahasia umum bahwa menggunakan moda transportasi umum memanng membutuhkan waktu lebih banyak untuk sampai ke tempat tujuan dan memang benar. Ketika bus pertama rute PGC-Harmoni sampai di Halte Salemba Carolus, bus-nya telah penuh penumpang. Padahal itu baru jam 5-an pagi. Hanya 1-3 orang yang diperbolehkan naik bus itu oleh kondekturnya.  Sisanya (termasuk saya), disuruh naik bus selanjutnya.

*

 

Kesempatan mengobrol sekaligus berkenalan dengan Mas Andreas sebenarnya sudah lebih dulu terjadi melalui grup WA JS Angkatan XXIX. Kalau tak salah ingat, sekitar 2-3 hari sebelum kelas perdana JS dimulai offline, Mas Andreasyang bergabung di grup menyapa kami satu persatu. Ada satu hal yang saya perhatikan. Jika biasanya saat perkenalan, paling-paling kita hanya menyebutkan nama saja, kota, usia atau profesi. Maka perkenalan yang dilakukan olehnya tidak demikian. Ketika ia menyapa saya, misalnya. Ia mengucapkan salam kenal disertai dengan tautan link yang berkaitan dengan saya. Saat itu tautan link yang berisi tentang saya sebagai salah satu peserta workshop DAO (Disability Art Online). Workshop online ini diselenggarakan pada Mei-Juni 2021, hasil kolaborasi AJI Indonesia, British Council, dan lain-lain. Merujuk pada nama workshop-nya, memang ditujukkan untuk fokus pada permasalahan dan golongan disabilitas.

 

Tak sampai di situ, ia juga mengirimkan link blog saya yaitu semangatkarin.com. Kepada kawan-kawan lain yang juga peserta JS juga ia begitu. Jadi bisa diduga, bahwa ia lebih dulu melakukan semacam searching and research mengenai background dari masing-masing peserta kelas JS. Dugaan saya, dengan mengetahui background para peserta kelas JS bisa membantunya lebih akrab para peserta kelas JS Ketika mulai berlangsung nanti.

 

Sementara kesempatan mengobrol secara langsung atau tatap muka terjadi pada hari pertama kelas perdana. Seperti dugaan dan harapan saya. Bahkan saya lah peserta pertama dan paling pagi hadir di kelas. Saat saya sedang duduk-duduk dan mengobrol dengan Mbak Della, tak lama kemudian datanglah Mas Andreas.

 

Saya foto bareng Mas Andreas Harsono sebelum kelas JS dimulai, Senin (5/9/2022) di Gedung Yayasan Pantau, Kebayoran Lama/ Dok Pribadi

Ia mengenakan kemeja bermotif dari daerah timur. Saya lupa apa namanya. Warna kemeja berlengan pendek itu kuning bercampur krem, bawahannya ia mengenakan celana jeans (kalau tak salah ingat). Seluruh rambutnya berwarna putih dan ada sebagian putih keperakan. Ia mengenakan kacamata hitam dan topi ala pemacing tapi bukan berbahan kain. Warna topinya senada dengan kemeja yang dikenakannya.

 

Usai menyapa saya, ia duduk di kursi dipan kayu yang berada di sudut kiri ruang kelas. Sambil sesekali menyeruput kopi hitam dan memakan lemper (saya ingat dua potong), ia meladeni obrolan saya. Terasa sekali semangat saya saat mengobrol dengan Mas Andreas. Kemungkinan besar karena harapan yang menjadi kenyataan; bisa menjadi siswa Kelas Pantau, belajar Jurnalisme Sastrawi, dan bertemu sekaligus berkenalan langsung dengan orangnya.

 

Dalam percakapan perkenalan ini, saya sedikit bercerita mengenai status saya sebagai orang penyandang lupus (odapus). Kalau dibilang lebay karena sering menceritakan soal lupus ini, saya nggak marah atau tersinggung. Cuek saja. Sebab tujuan menceritakannya sebagai bentuk edukasi dan supaya orang lebih aware alias peduli kepada lupus.

 

Ternyata Mas Andreas pun baru pertama kali mendengar nama penyakit lupus. Sehingga kemudian saya menjelaskannya, tentu dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Seperti yang biasa diajarkan dalam kelas-kelas jurnalisme yang saya ikuti. Dia menyimak dengan baik. Tapi waktunya tidak cukup. Satu per satu kawan-kawan peserta kelas JS datang. Lalu kami semua diarahkan untuk melakukan swab antigen sebelum kelas dimulai. Tapi ini barulah permulaan dari kelas pelatihan (Salemba, 7 Desember 2022)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *