SemangatKarin.com

Catatan Harian dan Semangat Hidup Seorang Penderita Lupus

Saya, TransJakarta, dan CLBK

Setelah turun di Halte Salemba Carolus, Sabtu (2/4/2022)| Dok Karin

Kapan ya terakhir kali saya naik TransJakarta? Kepada petugas haltenya, spontan saya menjawab dua tahun lalu. Namun Ketika sampai di kost-an dan ngadem santai, lalu menghitung ulang. Ternyata bukan dua tahun lalu, yang betul adalah tiga tahun lalu. Tahun 2022 dikurangi 2019 (terakhir saya naik TransJakarta dan masih ingat pula untuk keperluan menjemput pesanan buah alpukat di Terminal Kampung Rambutan) hasilnya betul tiga (tahun) kan?

Sabtu, 2 April 2022 merupakan persentuhan kembali saya dengan TransJakarta atau juga disebut busway. Ada perasaan gembira, deg-degan, sedikit khawatir tapi dari itu semua, menurut saya adalah amazing yang lebih tinggi sedikit kadarnya. Semenjak mengalami kasus Avaskular Nekrosis (AVN) yang membuat saya susah berjalan, saya tak pernah lagi menggunakan TransJakarta untuk berpergian. Adalah ojek online alias ojol atau taksi online menjadi pilihan saat itu.

Gara-gara Bapak Kost dan Sampah

Suasana Halte Pal Putih Kramat Raya Jakpus, Sabtu (2/4/2022)| Dok Karin

Saya sedang duduk di Toko Maison Weiner (toko roti di daerah Kramat yang sudah ada sejak zaman Belanda) saat sekitar jam 8-an pagi, sebuah WA masuk ke hp. Isi pesannya merupakan jawaban atas pertanyaan saya dalam WA sebelumnya (maksudnya jam lebih pagi), isi pesannya sebuah foto yang sangat saya kenali. Dalam foto tersebut tampak seorang bapak sedang berdiri di halaman depan rumah dan memegang sapu ijuk. Ia sedang menyapu daun berlatar pohon-pohon bambu. Sontak pikiran saya terkejut. Waduh, itu kan bapak kost. Melihatnya di dalam foto, langsung teringat pada sampah yang belum saya buang. Sampahnya berupa potongan sayuran yang kemarin saya siangi. Apa hubungannya? Saya takut dibawelin oleh bapak kost kalau tahu sampah tersebut masih belum dibuang. Biasanya dia akan ribut melalui WA. Tak hanya sampah sih, masih ada hal lain yang juga sering dibawelin olehnya ke saya. Bahkan saya sampai hafal kalimatnya khas-nya ketika menjapri komplainannya kepada saya: “maaf, mbak…bla bla bla…”.

Oh iya, foto itu sendiri dikirim oleh customer service (CS) aplikasi belanja sayur online langganan. Ceritanya saya memesan sayur pada Kamis, 31 Maret 2022 dan diantar pagi itu (Sabtunya). Lalu dapat notifikasi bahwa pesanan saya sudah diterima oleh Pak Hadi/ keluarga. Masalahnya saya tidak kenal dengan Pak Hadi ini. Jadi saya bertanya balik sekaligus minta penjelasan kepada pihak penjual sayur online-nya. Oleh pihak CS dijawab dengan mengirimkan foto yang ada bapak kost sedang menyapu itu. Saya baru bisa bernafas lega ketika kurirnya menghubungi langsung dan memberitahu bahwa paketnya telah ditaruh sesuai notes pesanan yaitu di kursi teras kost-an.

Tapi saya tetap tidak tenang dan bersamaan ketika melirik ke luar jendela, tampak matahari telah mulai menyengat. Bagi orang sehat sih matahari jam 08.30 pagi tidak masalah. Sinarnya dianggap bagus atau menyehatkan. Namun untuk saya, itu bisa jadi masalah. Terpapar sinar matahari, bisa memicu kondisi autoimun lupus saya. Biasanya ruam merah pada pipi seperti kalau kita pakai blush on, yang dalam dunia perlupusan disebut ruam kupu-kupu atau butterfly rash.

Ya sudah, ayolah kita pulang. Tapi muncul kebimbangan, pulangnya gimana? Pakai apa? Tadi saya dari kost-an ke Toko Maison Weiner dengan berjalan kaki. Maksudnya kan jalan pagi, olahraga, dan dalam kondisi masih adem gelap. Sekarang sudah terik dan kaki juga capek. Mau naik taksi online, tiba-tiba terpikir takut tarifnya sedang naik. Mau jalan kaki lagi, ingat lagi rada capek dan panas. Bagaimana kalau pakai TransJakarta saja?

 

Halte Pal Putih Kramat Raya

Pemandangan dari JPO Halte Pal Putih, Jl Kramat Raya Jakpus, Sabtu (2/4/2022)| Dok Karin

Saya perlu berjalan 200-300 meter dulu (mungkin ya) hingga bisa mencapai Halte Pal Putih. Lokasi halte ini tepat di depan Kantor Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Ada rasa was-was saat mau naik tangga jembatan penyeberangannya. Saya takut jarak antar undakan tangganya tinggi sehingga membuat paha dan kaki juga harus diangkat lebih tinggi sementara saya baru tahun lalu (2021) menjalani operasi ganti pinggul (Total Hip Replacement/ THR) kanan dan kiri. Yang saya ketahui, seseorang yang telah menjalani operasi THR sebisa mungkin jangan terlalu sering atau lebih baik lagi menghindari naik turun tangga karena sedikit banyak akan mempengaruhi protesa operasinya.

Tapi sudah kadung niat dan saya bisa bernafas lega karena ketinggian undakan tangganya tidak seperti yang saya khawatirkan. Pelan-pelan saya menaiki undakan tangga sambal tangan kanan berpegangan pada pegangan tangga. Meski sudah lama, saya masih ingat bahwa ada bagian-bagian dari lantai jembatan yang agak kurang sempurna ketika dipijak. Intinya kita tetap harus hati-hati. Selama menaiki undakan tangga, pikiran saya dibuat melayang kepada memori enam tahun lalu.

Tahun 2016 pada minggu terakhir bulan November, itulah pertama kalinya saya berobat jalan SLE/ lupus di RS Kramat 128. Letak RS ini tak jauh dari Halte Pal Putih. Kita bisa melihatnya dengan jelas saat telah berada di atas jembatan penyeberangan dan ditambah warna gedung RS-nya yang cukup eye catching yakni pink muda. Pada tahun itu, babak baru pengobatan SLE saya dimulai. Sebelumnya selama setahun lebih berobat di Bandar Lampung dan tak ada perubahan. Makanya saya memutuskan ke Jakarta dan pilihan di RS Kramat 128. Nama RS-nya ada embel-embel 128 karena merujuk pada nomor bangunannya yang memang berlokasi di Jalan Kramat Raya nomor 128.

Babak baru itu mulai dari bertemu dan ditangani oleh Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dan tim dokter RS Kramat 128, mulai belajar untuk bersabar dalam berobat di sana seperti untuk mendaftar dan mengikuti seluruh alurnya hingga bertemu dokter dan menebus resep obat yang pada waktu itu bisa sampai malam baru selesai. Ada suka dan duka tapi terpenting adalah proses pendewasaan diri dan hati Tapi terus terang, saya masih selalu sentimental jika teringat akan masa-masa itu. Ah nantilah akan saya ceritakan lebih lengkap lagi.

Tiba di haltenya, maka kita akan disambut oleh pintu ke luar masuk yang berupa palang otomatis. Duh ternyata harus pakai aplikasi Peduli Lindungi (Pedlin) dulu kalau mau naik TransJakarta sekarang. Saya agak panik karena saya belum vaksin samasekali. Seorang bapak petugas halte menghampiri saya dan benar, ia memberitahukan harus menggunakan Pedlin dan menunjukkan hasilnya.

“Pak, saya belum vaksin. Saya ada autoimun lupus. Jadi bagaimana ya?”, kepadanya saya menjelaskan.  Si bapak tampaknya ngeh dan solusi untuk ini, saya diminta menunjukkan surat keterangan belum boleh vaksin dari dokter yang merawat. Waduh, surat itu ada tapi di kost-an dan mana saya tahu itu perlu untuk naik busway. Lebih-lebih mana kepikiran bahwa saya bakal naik busway untuk kali ini? Saya jawab sejujur-jujurnya bahwa suratnya tidak dibawa. Saya juga menjelaskan bahwa dokter yang merawat saya adalah Prof Zubairi dan berobatnya di RS Kramat 128 yang notabene tak jauh dari halte. Masalahnya si bapak tetap keukeuh tidak membolehkan saya masuk.

Dalam kekalutan, tiba-tiba terpikir pada sebuah kartu. Segera saya ambil dari dompet dan menunjukkannya kepada si bapak. Baru deh si bapak percaya dan membolehkan saya masuk ke dalam. Oh ya, kartu yang saya tunjukkan adalah kartu anggota Yayasan Lupus Indonesia (YLI). Ada kejadian lucu pada saat mau masuk ke halte. Saya lupa cara melewati palang pintunya. Ingatnya didorong. Pas lihat ada tempat untuk nge-tap kartu, baru sadar kalau kita harus nge-tap kartunya di kotak palang pintu. Langsung saya coba nge-tap. Eh kok nggak bisa. Coba kedua dan ketiga kali, masih tidak bisa. Akhirnya dibantu oleh bapak itu lagi, baru deh bisa.

Berfoto di Halte Pal Putih, Jl Kramat Raya Jakpus, Sabtu (2/4/2022)| Dok Karin

Pas sudah masuk dan menunggu bus-nya datang, keluarlah jiwa norak saya. Foto-foto! Beberapa sudut halte saya abadikan dengan kamera hp dan tak lupa foto saya sendiri. “Pak, boleh minta tolong fotokan?” pinta saya kepada bapak petugas halte satu lagi. Dia pun meluluskan permintaan saya. Sekitar 2 menit kemudian, bus-nya datang (kodenya 5C jurusan Harmoni-PGC). Kembali saya was-was untuk menaikinya. Tapi tak kurang akal, saya minta bantuan bapak perugas itu lagi untuk membantu membimbing saat melangkah dari lantai halte ke bus. Kenapa sampai sedemikiannya? Selain faktor baru naik busway lagi, kondisi post operasi juga mempengaruhi. Saya tidak boleh melangkahkan kaki dengan sudut yang terlalu lebar. Makanya ini harus selalu diingat alias wanti-wanti ke diri sendiri, kapan pun dan dimana pun.

Sukses naik ke bus, gairah norak saya masih belum sirna. Foto-foto sudut bus dan tentu swafoto diri sendiri di dalam bus. Jarak Halte Pal Putih ke Halte Salemba Capitol tak jauh jadi hanya sekitar 15 menit sampai deh. Sesaat sebelum bus berhenti di Halte Salemba Carolus, saya sudah bersiap di depan pintu keluar masuknya dan lagi-lagi agak was-was untuk melangkah ke pintu halte. Sembari pegangan dan pelan-pelan, bersyukur bisa.

 

CLBK

Swafoto dalam Bus TransJakarta Koridor 5C, Sabtu (2/4/2022)| Dok Karin

Tahu kan apa CLBK? Singkatan populer dari Cinta Lama Belum Kelar. Momen pada Sabtu, 2 April 2022 ini menumbuhkan kembali rasa “cinta” saya kepada bus TransJakarta. Saya belum lama tinggal di Jakarta, kira-kira baru 5 tahunan deh tapi bus ini selalu berada dalam hati saya. Saat pertama kali berobat ke RS Kramat 128, ingat sekali naik dari Halte Matraman lalu turun di Halte Pal Putih. Berobat ke dua kali juga begitu. Bedanya saat berangkat, saya menumpang ojol dan pulangnya baru menggunakan TransJakarta (naik di Halte Pal Putih dan turun di Halte Kelapa Dua Sasak).

Makin intens di tahun 2018. TransJakarta ibarat soulmate saya kala berpergian. Aman dan nyaman di kantong, juga praktis. Tapi ada sedikit yang saya kurang suka (saat itu). Jikalau jam sibuk atau saat akhir pekan maka jumlah penumpangnya pasti banyak dan otomatis kita akan umpel-umpelan di dalam bus. Bagi saya hal ini cukup menakutkan karena apa? Pertama, udara di dalam bus menjadi sesak dan panas. Kedua, berpotensi menimbulkan kejahatan semisal copet, pelecehan seksual, dan untuk hal-hal ini kan sudah pernah diberitakan (bisa dicari pakai mbah Google ya). Ketiga, karena penuh pastilah kursinya juga penuh. Yang kuat berdiri, tak masalah. Yang tak kuat berdiri atau mungkin punya masalah kesehatan, harusnya duduk atau mendapat prioritas. Namun adakalanya, ada penumpang yang egois. Ia tidak mau memberikan kursi tersebut untuk penumpang lain yang lebih butuh. Pernah juga saya mengalami sendiri, saat naik dari Halte Ancol, dan begitu pintu bus dibuka, langsung semua penumpang berebutan tempat duduk. Tentunya ini cukup menakutkan karena berpotensi terjadi dorong-dorongan atau bahkan keributan.

Awal September 2018 (kalau tak salah tanggal 7) saya ingat menumpang TransJakarta hendak ke Palmerah. Bus-nya terjebak kemacetan di daerah Roxy dan dalam kondisi penuh penumpang. Bisa dibayangkan betapa gerahnya. Saat itu saya sempat berbincang-bincang dengan kondektur bus-nya. Saya bilang, harusnya ada semacam pembatasan jumlah maksimal penumpang dalam satu bus. Supaya tidak umpel-umpelan seperti ini. Eeh, siapa sangka dua tahun kemudian, ucapan saya ini terealisasi walaupun pemicunya adalah pandemi covid (yang tidak kita harapkan). Pihak TransJakarta melakukan pembatasan mulai dari jumlah rute yang beroperasi, jam operasional dan kapasitas penumpang dalam satu bus (bisa dibaca, salah satunya di sini https://republika.co.id/berita/q79n8n383/transjakarta-dikritik-warga-akibat-pembatasan-penumpang).

Secara pribadi, saya katakan naik TransJakarta saat ini jauh lebih nyaman karena tidak umpel-umpelan atau berebut kursi. Pada hari Sabtu itu saja, bus yang saya tumpangi termasuk lowong, para penumpang tidak ada yang sampai berdiri. Namun jeleknya, kita diikuti rasa was-was karena situasi naik bus-nya di masa pandemi dan satu lagi, ketiadaan kondektur pendamping sopir bus. Kalau dulu kan ada dan ia sangat membantu baik untuk sopir ata penumpang yang hendak masuk atau ke luar bus. Karena tak semua penumpang bus berada dalam kondisi sehat, ada yang perlu dibantu. Kalau ditanya lebih suka yang mana? Jawabannya 50:50. Saya suka (sebelum pandemi) bisa bebas naik bus tanpa diliputi rasa was-was tetapi dalam kondisi bus yang sekarang, tidak umpel-umpelan, ada batas maksimal jumlah penumpang dalam satu bus sehingga tidak perlu berebut kursi. Tapi intinya, saya senang sudah “bisa dan berani” naik bus TransJakarta lagi. (Jakarta, 11 April 2022)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *