SemangatKarin.com

Catatan Harian dan Semangat Hidup Seorang Penderita Lupus

Pak, Terima Kasih Kau Menggengam Tangan Saya Namun Cukuplah Saya yang Memegang Lengan Bapak

Salah satu halte TransJ di Jakarta | Ist

Karena hari ini (Senin, 5/11/2018) saya bermaksud ke Jalan Dr Sahardjo di Manggarai dan menggunakan TransJakarta (TransJ), jadilah saya harus mampir ke halte transit Matraman. Mengapa? Karena rutenya memang begitu. Berawal dari halte Salemba Carolus, kita naik TransJ yang kearah Matraman. Turun di halte Matraman 1 lalu berpindah ke Matraman 2 dan dari situ lanjut TransJ arah Dukuh Atas. Nanti turun di halte Manggarai dan disitulah Jalan Dr Sahardjo.

Sudah lama sekali saya tidak naik TransJ yang memerlukan transit di Halte Matraman. Sepengingat saya – hanya dua kali – bila dihitung sejak 2017 alias setahun lalu. Lho kok cuma setahun lalu? Dulu-dulu bagaimana? Dulu-dulu sepertinya pernah tapi tak ingat kapan tepatnya. Maklum brain fog (kalau kata orang dengan autoimun alias ODAI, ya seperti saya ini yang penyandang lupus atawa odapus).

Tahun 2017 dalam bulan September dan 2018 dalam bulan Mei saya sempat transit di halte tersebut. Kalau tak salah, pas bulan September itu saya bermaksud ke Grogol – Slipi Petamburan – rumahnya kawan yang odapus juga. Kalau bulan Mei, saya bermaksud ke RS MMC di Kuningan guna menjenguk kawan (lagi-lagi) odapus yang sedang diopname di sana. Saya juga ingat di RS MMC sempat berfoto-foto dengan valet parking-nya. Sempatnya ya? (Ini akan saya ceritakan sendiri).

Ada rasa gemetar kalau mengingatnya. Ingat saja sudah gemetar, apalagi kalau mampir ya? Bisa pingsan kali. Pasalnya Jembatan Penyeberangan Orangnya (JPO) tinggi. Ups, semua JPO memang tinggi ya? Dan di situ kita harus jalan untuk berpindah rute.

Saya memang rada parno kalau melewati yang tinggi-tinggi. Ah, jadi ingat parnonya tak hanya di JPO Matraman. Melainkan di seluruh halte yang memerlukan transit dengan JPO tinggi atau setiap halte non transit tetapi juga berfungsi sebagai JPO. Biasanya saya jadi ketakutan dan berpikir yang aneh-aneh. Misalnya pas jalan dan melihat ke bawah. Duh, tuh mobil atau motor yang melintas di bawah kok kencang sekali? Speed-nya mungkin jor-joran antara pengemudi satu dan lainnya. Takut banget dan ini tak mungkin ditolak dilihat. Wong jeruji pegangan JPO-nya lowong-lowong begitu maka mau tak mau melihat lah.

Lalu saya parno ketika melangkah di lantai JPO yang tiba-tiba terdengar berbunyi dweeeng. Bunyi ini biasanya dari lantai JPO yang berbahan seng. Waduh, takut dan kaget bercampur aduk dan jika sudah begini, saya langsung diam pegangan jeruji JPO serta mengelus dada dan menarik nafas. Kayak emak-emak sudah uzur ya? Silakan ketawa, tapi benar yang saya lakukan begitu. Atau saya bisa parno kalau mendengar bunyi dweeng seng lantai yang dipijak oleh orang-orang yang lalu lalang. Plus bergetar juga.

Ah ya satu lagi, kalau pas jalan dan melihat ke lantai JPO yang berbahan seng-nya tambal sulam. Alamak takutnya! Bergetar hati ini. Satu yang bisa saya sebut tuh halte transit Grogol. Debar-debar saat mau melewati itu. Kala menapak di lantai JPO yang ada rasanya takut, takut, takut dan dag dig dug.

Makanya saya lebih suka lantai JPO berbahan beton karena jelas mantapnya. Bisa saya sebut, misalnya halte plus JPO Agung Podomoro dan Tosari (sekarang sudah almarhum). Bahagia banget kalau lewat JPO berlantai beton. Pasalnya tidak perlu dengar bunyi dweeng-dweeng atau bergetar saat lantainya diinjak, plus jangan lupakan tambal sulamnya juga.

 

Ada Apa di Matraman?

Biasanya saya minta tolong dibimbing melewati halte JPO. Tapi tidak ke sembarang orang, minta tolongnya. Lihat-lihat dulu-lah. Janganlah alih-alih bermaksud minta tolong malah jadi aneh-aneh. Nah ini nih yang membikin saya tak melupakan Matraman, Grogol, Tosari, Senen dan lain-lain. Hihi, akrab banget sama halte busway ya? Saya memang suka berpergian menggunakan moda transportasi satu ini kala di Jakarta.

Menurut sejarahnya yang dikutip dari laman Transjakarta.co.id dan wikipedia.org, TransJ merupakan sebuah sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara dan Selatan yang beroperasi sejak tahun 2004 (15 Januari) di Jakarta atau dalam masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. TransJ dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibukota yang sangat padat. Didesain berdasarkan sistem TransMilenio yang suskses di Bogota, Kolombia. TransJ tercatat sebagai sistem BRT yang memiliki jalur lintasan terpanjang di dunia, yakni 251, 2 kilometer dan memiliki 260 halte yang tersebar dalam 13 koridor. Awalnya TransJ beroperasi mulai pukul 05.00-22.00 WIB. Kini beroperasi 24 jam pada sebagian koridornya.

Walau mungkin belum sempurna di pelayanan dan belum maksimal dalam mengatasi kemacetan, saya tetap mengapresiasi. Tarifnya murah, cukup Rp3500 per sekali perjalanan dan kalau kita menggunakan TransJ di bawah pukul 6 pagi, tarifnya hanya Rp2500 per sekali perjalanan bahkan digratiskan untuk kaum lansia. Menurut saya patut disyukuri, terlebih warga Jakarta akan keberadaan TransJ selama ini.

Kembali ke Matraman. Saat itu saya hendak menuju ke Harmoni. Turun di halte Matraman 2, kita perlu menuju ke salah satu jalur untuk transit, JPO-nya menanjak dan yakinlah pasti tinggi saat sudah di atas. Belum lagi harus jalan melintasi dan turun lagi. Saya keder. Saya kira ketakutan melewati JPO ini lantaran baru beberapa bulan ke luar dari opname lupus saya. Ya, saya meyakini begitu. Sebab sebelum opname, nggak ada masalah soal melintasi JPO.

Sebenarnya saya sudah meyakin-yakini diri bisa melewati JPO transit ke Matraman 1. Pasti bisa, pasti bisa! Begitu sugesti dalam hati dan saya sudah melangkah seperempat tanjakan. Semenjak itu, JPO makin tinggi dan makin keder deh saya. Ya wis, saya menyerah – memang perlu meminta bantuan orang. Tapi siapa? Ramai yang lewat dan saya celingak-celinguk sampai akhirnya dapat. Ya sudah, bapak ini saja.

Bapak yang kira-kira berusia 40 tahunan ke atas (atau lebih ya?) saya towel bahunya dan buru-buru menjelaskan pingin minta tolong, bla bla bla. Saat si bapak mengiyakan, segera saya pegang lengannya. Jalan beberapa langkah eh si bapak menarik tangan saya yang memegang lengannya. Jemarinya menggenggam tangan kiri saya – sambil terus berjalan. Aduh mak, kok jadi menggenggam tangan saya nih si bapak? Namun, ya sudahlah – yang penting sampai di Matraman 1.

Beberapa kawan yang saya ceritakan ini di kemudian hari ada yang tertawa. Ada juga yang bilang bahwa si bapak baik – ia bermaksud memastikan saya “aman”. Kalau saya sih mikirnya mungkin saja saya dianggap “putrinya” sehingga ia begitu. Entah mana yang betul, entah maksud bapak itu – pokoknya sampai juga melewati JPO (yang ketika itu keramat untuk saya) ke Matraman 1. Sesudah sampai, tak lupa saya mengucapkan terima kasih untuk kebaikannya.

Kalau di Grogol, lain lagi. Bukan saya yang meminta tolong. Yang menolong justru yang menghampiri saya. Mungkin dilihatnya saya jalan super pelan dan takut-takut layaknya kura-kura atau malah diam saja di tempat. Tiba-tiba tangan saya disambar (sebelah kanan) dan yang menolong bertanya saya hendak kemana? Kalau nggak salah mau ke halte Grogol 1.

Ya sudah, saya mikut saja dituntun begitu. Apalagi yang nuntun lumayan ganteng, hahaha. Sayangnya tidak tanya nama dan nomor hape-nya (aduh ngawur!). Sepintas melihat sih masih muda umur 20 tahunan ke atas. Serasa ABG deh saya apalagi adegannya mirip di sinetron-sinetron Indonesia itu.

Sedangkan di halte Tosari malah jadi pertemanan. Yang menolong saya waktu itu namanya Iis dan Ari. Keduanya pulang kerja dari tes wawancara kerja di sebuah perusahaan yang lokasinya di sekitar halte tersebut. Waktu itu saya agak kesusahan menaiki tangga halte. Nah keduanya membantu saya. Sampai naik TransJ Blok M ke Harmoni dan yang bikin kaget. Saya kan dari Harmoni lanjut ke arah Kalideres. Sementara keduanya ke Lebak Bulus dan mereka sudah masuk antrian rute itu.

Tiba-tiba keduanya ke luar dan berpindah masuk ke antrian Kalideres. Saya dibuat bingung. Waktu saya tanya, si Iis menjawab tak apa-apa dan mau mengantar saya sampai tempat tujuan. Memang benar, keduanya mengantar saya sampai halte Jembatan Baru. Bahkan mengantar turun keluar JPO halte dan menunggui sampai ojek online yang saya pesan tiba. Saat itu dalam bulan Juni 2017, saya sedang sementara tinggal di Apartemen City Park, Cengkareng. Turun dari halte untuk menuju apartemen memerlukan ojek. Begitu pun sebaliknya.

Saya trenyuh dengan kebaikan keduanya. Setelah itu, saya masih berhubungan dengan Iis melalui WA dan dalam bulan Juli 2017 saat ke Jakarta, kami sempat bersama ke Bogor. Terakhir saya berkomunikasi dengannya di bulan Februari 2018 dan Iis mengabarkan sedang persiapan menikah. Itulah kontak terakhir kami. Sebab nomor Iis terlihat tidak aktif lagi di WA sejak itu. Iis, dimanakah engkau berada?

 

Keder Move On!

Syukurlah sekarang tidak lagi. Thank you, My God. Parno yang saya alami saat melintas JPO halte, menghilang. Baru saya sadari beberapa bulan belakangan ini. Meskipun ketiksa berjalan di JPO, saya masih lamat-lamat dan berpegangan pada jeruji tiang jembatan. Setidaknya saya sudah tergolong lancar dan tidak lagi perlu merepotkan orang lain.

Begitupun kala di Matraman ini. Makanya dalam hati saya berteriak hore! Yes I can do! Tapi walaupun susah bisa, saya tetap – jika memungkinkan menghindar. Why? Sebab cukup melelahkan juga untuk saya melakukan transit. Naik – berjalan datar – turun atau sebaliknya (Jakarta – Selasa, 6 November 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *