SemangatKarin.com

Catatan Harian dan Semangat Hidup Seorang Penderita Lupus

Mencari Pak Kasma di Stasiun Gambir

Saya bersama Pak Kasma (59) Potter di Stasiun Gambir, Jumat (17/8/2018) | Dok Pribadi

“Sudah, saya pergi dulu ya”, katanya sambil berjalan cepat menuju ke dalam gedung Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Saya yang sedang sibuk dengan Hp untuk memesan taksi online (Gocar), sontak menoleh dan bingung. Lho, lho mau kemana bapak ini? Saya tak sanggup mengejar langkahnya yang cepat. Hanya mampu melihat sosoknya yang perlahan lenyap dalam keramaian orang di Stasiun Gambir pada Senin malam itu, 13 Agustus 2018.

Tak lama taksi online yang saya pesan tiba. Tanpa membuang waktu – segera saya naikkan barang. Namun diiringi perasaan tak enak karena bapak yang tiba-tiba pergi tadi dan setelah duduk di kursi depan mobil, samping driver-nya – saya tetap merasa tak nyaman.

Pandangan saya arahkan cukup lama ke arah pintu keluar masuk gedung stasiun, berharap bapak tadi muncul sehingga saya bisa memberikan uang kepadanya. Tetapi harapan saya pupus. Sampai mobil berjalan hingga pos pembayaran parkir, tak terlihat sosoknya.

“Duh, tadi bapak tua yang ngangkatin barang kemana ya? Tahu-tahu pergi. Saya belum bayar. Kan jadinya nggak enak,” ceplos saya kepada si sopir taksi. Sang sopir yang bertubuh tambun menyimak tanpa melepaskan pandangan ke jalan. “Emang kenapa, bu?” tanyanya.

“Iya, tadi kan saya turun Bus Damri, terus ada bapak tua porter yang bantu angkatin barang. Dibawain sampai ke tempat saya naik Gocar ini. Terus kan saya pesan Gocar, pas pesan itu kok tahu-tahu pergi porter-nya. Kan belum dibayar. Saya kan jadi nggak enak dong,” cerita saya panjang lebar.

Si sopir menyimak saja. “Ah sudahlah,” kata saya pasrah ketika akhirnya mobil melaju keluar dari pos parkir stasiun dan saya sama sekali tidak melihat sosok bapak porter tadi. Paling besok saja saya ke Gambir lagi, mencari si bapak untuk memberi uang yang memang haknya.

Syukurlah sesampainya di kost Jalan Salemba Tengah I, beberes barang dan mandi – saya bisa beristirahat (tidur maksudnya) – walau hati ini tidak tenang lantaran berutang dan kasihan. Pada hari-hari selanjutnya, saya pun melakukan ikhtiar untuk membayar utang itu.

 

Dua Shift

Bukan hal mudah untuk menemukan bapak potter yang kemudian saya ketahui bernama Pak Kasma. Tadinya saya bermaksud ke Stasiun Gambir pada Selasa, 14/8. Biar bisa lekas ketemu si bapak dan membereskan utang. Kalau sudah beres kan hati jadi plong. Eh, urung – lantaran merasa ini badan kok masih lelah ya. Saya hari Senin (13/8) itu kan memang baru perjalanan dari Lampung-Jakarta. Pakai pesawat tapi tetap saja capek. Okelah saya tunda dulu daripada maksa dan jadi hal yang enggak-enggak. Namanya cari penyakit sendiri kan?

Baru di hari Kamis, 16/8 saya ke Gambir lagi. Kesempatan ini datang karena WA Syam Terajana. Dia teman di AJI (Aliansi Jurnalis Independen), AJI Gorontalo. Syam ialah jurnalis cum pelukis dan pada saat mengontak saya, dia bersama teman-temannya yang sesama perupa Gorontalo sedang mengadakan pameran karya rupa bertajuk Tupalo di Galeri Nasional (Galnas), Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Pameran dibuka 14 Agustus dan ditutup 27 Agustus 2018.

Saya berfoto dengan latar lukisan Legenda Lahilote atau Jaka Tarub versi Gorontalo, Kamis (16/8/2018) | Dok Pribadi

Ada 18 perupa yang ikut andil memamerkan karya mereka di Gedung D Galnas. Karyanya unik-unik. Ada yang serius dan ada yang lucu. Dari 18 karya tersebut, saya paling suka lukisan berjudul Legenda Lahilote karya Mohammad Dangkua. Bang Syam yang meng-guide saya saat itu cerita kalau Legenda Lahilote adalah cerita Jaka Tarub versi Gorontalo. Iya, dari melihatnya saya sudah keciren. Lukisannya hitam putih dibagi dalam 12 panel yang masing-masing panel bertuliskan adegan-adegan penting dalam kisah Jaka Tarub, seperti saat ketujuh bidadari mandi di sungai, si Jaka menemukan selendang dan mencuri salah satunya, saat bidadari terbang ke khayangan. Keduabelas panel dibagi dua bagian dengan 6 panel di bagian atas lalu di bagian tengah dinding dilukis selendang besar yang salah satu ujungnya digenggam tangan. Selendang sebagai pemisah panel. Bagian bawah ada 6 panel lagi.

Kreatif gaya atau cara melukiskannya dan tidak kaku malah lucu. Dalam pandangan saya, pelukisannya ala-ala karikatur yang biasanya humoris itu.

Bang Syam mengabarkan saya pada Kamis pagi, 16 Agustus itu bahwa seharian ini dia berada di sana (makanya saya ke sana) dan sekitar pukul 16.00 WIB, baru deh saya cus ke Galnas. Puas melihat-lihat, baru saya ke Gambir. Jarak Galnas dan Gambir hanya seperempat lemparan batu – letaknya tepat di seberang Galnas. Kita hanya butuh menyeberang lewat JPO untuk ke Gambir (kalau dari Galnas).

Sesudah dari JPO depan Gambir, saya pun menuju ke pintu keluar masuk utama – pokoknya yang dekat Halte Busway Gambir 2 deh dan pencarian pun dimulai. Tak berapa jauh dari pintu, saya menghampiri seorang porter dan bertanya-tanya kepadanya soal Pak Kasma. Tapi karena saat itu belum tahu namanya, saya cuma bisa menjelaskan berdasarkan ciri-ciri yang saya ingat.

“Pak, orangnya sudah tua, rambutnya putih. Nggak tahu namanya siapa. Nggak lihat nomornya, nggak merhatiin seragamnya sih,” kata saya ke seorang porter yang sengaja saya panggil untuk menanyakan soal Pak Kasma. “Saya ketemunya hari Senin (13/8), pas habis turun dari Damri bandara terus ada bapak ini lagi nyapu terus minta tolong dia angkat barang,” sambung saya lagi.

Porter yang saya tanyain kelihatan sedang mereka-reka orang yang saya maksud. Kemudian ia mengarahkan saya ke lokasi dekat loket Damri. “Ke sana saja, ada orangnya,” arahnya. Saya pun mengikuti instruksinya. Celingak-celinguk sesampai di sana, lha tak ada tanda-tanda porter yang saya maksud.

Akhirnya saya masuk ke dalam stasiun. Tanya-tanya sama porter yang saya temui di sana. Seorang porter yang saya tanyai, memberi jawaban menyenangkan hati. Katanya ada – bapak itu. “Dimana pak?”. Ia pun mengajak saya ke luar gedung stasiun dan ke tempat rekan-rekannya – sambil menceritakan maksud saya kepada teman-temannya.

“Oh, Pak Samin!” kata seorang potter. “Pak Samin mah di sana,” ia berucap sambil menunjuk ke arah kiri. Saya pun berjalan sedikit dan berdiri menunggu dekat pintu gedung stasiun. Sesosok lelaki tua datang. Siapa bapak ini? Oh ternyata Pak Samin. Tapi setelah menilah penampilannya, bukan Pak Samin ini porter yang saya maksud. Duh kecewa deh belum berhasil menemukannya. Gimana ya?

Terlintas pikiran untuk bertanya ke kantor pendataan potter. Ya pasti ada. Tapi dimana ya kantornya? Saya pun masuk lagi ke dalam stasiun dan menuju ke pintu masuk penumpang dan bertanya kepada satpam yang berjaga. Tapi dia bingung dan saat seorang porter lewat, diarahkannya saya kepada porter itu.

Dari sini baru deh saya mendapat pencerahan. Setelah cerita mencari potrer ini begini begitu. “Oh, bukan hari ini. Besok adanya. Ada dua shift kerja. Beda, bu,” terang porter ini. Ah begitu toh. Baru tahu dan pantas saya sudah ngubek-ngubek stasiun, tidak ketemu. Baiklah besok ke sini lagi.

 

Yang Kedua

Dan benar plus bersyukur. Keesokan hari (Jumat, 17/8) ketika ke Gambir lagi, saya berhasil menemukannya. Ketemunya pun tanpa perlu mencari karena saat saya berjalan di salah satu selasar stasiun, ada Pak Kasma sedang berjalan berlawanan arah.

Kalau di film-film anime biasanya ada ikon bling-bling atau bintang-bintang berkilau dan rasanya begitulah saya kala melihatnya. Segera saya hampiri dan sapa. “Pak! Duh akhirnya ketemu juga! Saya nyariin bapak lho dari kemarin,” spontan saya bertkata gembira.

Pak Kasma terlihat agak bingung. “Saya yang barangnya diangkatin bapak waktu hari Senin kemarin. Terus bapak pergi gitu aja. Ingat nggak pak?”

Pak Kasma mulai nyambung. “Oo iya iya,” sahutnya sambil mengembangkan senyum. Segera saya keluarkan uang dari dompet dan memberikan kepadanya dan diterimanya. Sambil saya bertanya namanya siapa? Di badge seragam tercetak nama Kasma. Kemudian saya tanya kenapa kok dia pergi begitu saja, kan saya jadi tak enak dan kepikiran karena belum membayar.

Ia pun menjelaskan bahwa saat saya sedang memesan dan menunggu Gocar itu bertepatan dengan kereta api (ke arah mana gitu) berangkat. Jadi dia buru-buru menuju ke peron keberangkatan karena ada penumpangnya yang menunggunya. Oh jadi rupanya penumpang yang memakai jasanya itu ditinggal sementara dan saat kereta si penumpang tiba, ia kembali ke peron untuk mengangkutkan barang-barang si penumpang ke gerbong keretanya.

Wah, baik sekali – dedikasi sekali. Jadi ingat setahun lalu di bulan November 2017 saat hendak berkereta menuju ke Solo dan menggunakan jasa porter untuk angkat barang. Usai mengangkat barang-barang saya hingga peron – sama si porter ya sudah sampai di situ saja. Saat kereta tiba – saya harus memakai (tentu juga membayar) porter lagi untuk mengangkat barang-barang saya ke gerbong keretanya.

Makanya itu alasannya pergi begitu saja. Tapi ya ujung-ujungnya saya yang jadi bingung dan tak enak. Rupanya Pak Kasma juga punya pikiran rada mirip. “Waktu balik ke sini eh sudah nggak ada. Ya sudah, nggak apa-apa,” katanya soal saya yang sudah pergi saat ia telah kembali dari mengangkat barang penumpangnya ke gerbong. Ya, saya juga nggak mungkin menunggunya kembali karena tak lama setelah ia pergi – Gocar yang saya pesan datang.

Pak Kasma ini usianya 59 tahun dan telah menjadi porter di Stasiun Gambir sejak 1982. Wow! Lamanya. Bahkan itu tahun di mana saya belum lahir. Lalu meluncurlah cerita dari mulutnya tentang Stasiun Gambir yang dulu masih rimbun pepohonan termasuk yang sekarang jadi Lapangan Monas. Juga tentang stasiunnya yang katanya di tahun 1989 dipugar hingga jadi seperti sekarang. “Saat dipugar, gubernurnya siapa pak?”.

Pak Kasma agak susah mengingat. Dapat dimaklumi, kan faktor Usia, rambutnya pun merata putih. Saya mencoba membantunya dengan menyebut nama Wiyogo Atmodarminto. Eh rupanya tepat.

Saya yang kepo ini masih terus bertanya kepadanya, mulai dari penghasilan dan lain-lain. Untuk penghasilan, dikatakannya tak menentu. “Tahun berapa itu, baru ditentuin aturan bayaran minimal untuk porter”, terangnya. Saya justru penasaran dengan upah porter dulu. Apakah dulu bayarannya hanya Rp5ribu saja atau berapa? Hihihi, kepo maksimal deh.

Pak Kasma ini aslinya dari Cirebon, Jawa Barat. Jadi di tahun 1980-an saat dia merantau ke Jakarta, dia langsung bekerja sebagai porter di Gambir – sampai sekarang. Wah setia sekali dengan profesinya ya? Selama rantau di Jakarta, dia tinggal di Pondok Kopi. “Pondok Kopi Jakarta Timur, Pak? Kan jauh dari sini?” tanya saya menegaskan. “Pak Kasma mengiyakan. Lha, terus PP nya gimana?”.

“Pakai kereta (KRL),” jawabnya. Eh tapi kan KRL tidak turun di Gambir – hanya lewat atau berhenti saja. Jadi gimana dong? Rupanya beliau naik dari Stasiun Gondangdia, yang jaraknya memang tak begitu jauh dari Gambir. Terus kesananya gimana? Ini nih yang bikin saya kaget jalan kaki!. Astaga! Walau dibilang dekat – tetap lumayan jarak tempuhnya kalau jalan kaki mah. Ia bilang demi penghematan. Termasuk soal tempat tinggal di Pondok Kopi. Di sana bersama teman-temannya, ia menyewa sebuah bedeng. “Satu kamar berempat. Jadi bayar sewanya bagi-bagi. Kalau bayar sendiri mah mahal, mana sanggup,” terangnya. Tambahan lagi jam kerjanya yang mulai dari pukul 8 pagi sampai pukul 8 pagi keesokan harinya. Lelah pastinya.

Mendengar jawaban itu – saya jadi disentil. Kenapa? Baru disadarkan lagi akan kebersyukuran. Banyak orang yang masih ada di bawah saya dan mereka menerima keadaan, disyukuri. Sementara saya, terkadang masih suka protes. Malu deh.

Saya melirik jam di hp dan waktu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ah tak terasa. Padahal maksud hati hanya ingin memberikan uang bayaran kepada Pak Kasma. Eh jadi ngobrol macam-macam. Tapi tak apa, saya senang. Karena dari obrolan ini menambah pelajaran kehidupan bagi saya. Utamanya ya tentang rasa syukur tadi dan tetap semangat.

Saya pun menyatakan hendak pulang dulu dan bermaksud menggunakan ojek online saja. Jumat malam (17/8) itu daerah sekitar Gambir dan Monas sungguh ramai dan luar biasa macetnya. Jauh lebih efektif pakai ojek ketimbang busway. Keluar pintu depan, saya baru memesan ojek. Pak Kasma ikut menemani. Tiba-tiba saya ingat apa si bapak sudah makan. Katanya sudah tapi siang saja. Lho kok malam tidak? Katanya tak apa-apa. Saya mengeluarkan uang – eh hanya ada uang Rp9ribu di dompet. Baru sadar nggak bawa uang. Tapi tak apa deh. Tetap saya kasihkan.

Tetapi Pak Kasma menolak. Malah sebaliknya, dia yang hendak memberikan uang kepada saya untuk membayar pesanan ojek. “Nggak usah pak,” tepis saya. Soalnya saya punya saldo Gopay – jadi untuk pembayaran cukup dipotong dari saldo saja.

Saat akhirnya dapat ojek – Pak Kasma bahkan turut mengantar saya sampai ke pintu selatan Stasiun Gambir – disitulah driver ojeknya menunggu. Duh baik banget. Saya pun mengucap terima kasih sambil mendoakannya supaya sehat-sehat selalu. Melangkah cepat – sosok Pak Kasma menghilang dalam kerumunan orang-orang menuju dalam stasiun. Sementara ojek saya pun mulai berjalan menuju Salemba.

Rasa lelah yang saya alami hilang semua. Sebelum sampai di Gambir, saya harus berjibaku dulu menembus macet saat menumpang busway mulai dari Halte Monas sampai Gambir 2. Jarak yang paling hanya beberapa kilometer dan normal ditempuh sekitar 10 menit, menjadi 1 jam di Jumat malam itu. Semua terbayar setelah saya berhasil menemukan Pak Kasma dan mengobrol dengannya, mengetahui cerita hidupnya sungguh semakin memperkaya hati saya tentang pelajaran kehidupan. Semoga sehat-sehat selalu Pak Kasma (Salemba Tengah-Jakarta, 15 September 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *