Pengalaman ke Open House Pak Anies (Idul Fitri 2019)
Ada satu kebiasaan yang saya lakoni setiap hari Idul Fitri yakni berkunjung ke acara open house. Tahu sendiri kan apa itu open house? Kalau dalam versi mudahnya, open house adalah momen ketika seseorang atau keluarga “membuka” (baca: mempersilakan) rumahnya dikunjungi oleh orang lain. Biasanya open house terjadi saat momen hari raya dan dilakukan oleh pejabat, tokoh masyarakat atau orang penting. Mereka mengadakan open house yang mempersilakan orang lain (dalam hal ini warga, masyarakat atau tetangga), kerabat atau kenalannya datang ke rumahnya. Sebenarnya bukan hanya mempersilakan, tetapi juga untuk silaturahmi antara yang menggelar open house (tuan rumah) dan tamu (orang-orang yang berkunjung). Kita tahu bahwa menjaga tali silaturahmi sangatlah penting dalam adat timur.
Ketika di Bandar Lampung, saat Idul Fitri saya beberapa kali datang ke Open House Gubernur Lampung. Saat itu tahun 2016 dan Provinsi Lampung masih dikepalai oleh M Ridho Ficardo. Saya datang ke acara open house-nya yang digelar di Mahan Agung – rumah dinas Gubernur Lampung. Ini adalah kali pertama saya menghadiri acara open house pejabat. Tahun 2017, saya juga hadir di sana (Mahan Agung). Tetapi tidak untuk tahun 2018. Berhubung kala itu Lampung hendak melaksanakan Pilkada Gubernur maka untuk posisi nomor orang satu di Bumi Ruwa Jurai, sementara diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur. Saat itu saya memutar haluan dengan datang ke open house-nya Arinal Djunaidi yang merupakan cagub Lampung nomor urut 3. Lalu setelahnya ke open house Yusuf Kohar yang saat itu menjabat Plt Walikota Bandar Lampung – berhubung saat itu Walikota Bandar Lampung Herman HN maju dalam kontestasi Pilkada Gubernur. Saya bisa hadir di kedua acara open house itu lantaran lokasinya yang berdekatan. Open House Arinal bertempat di rumah pribadinya Jalan Sultan Agung, open house Yusuf Kohar bertempat di rumah pribadinya juga di Jalan Cengkeh. Jarak Jalan Sultan Agung dan Jalan Cengkeh sekitar 1 atau 2 kilometer saja.
Apa sih tujuan saya ke open house? Toh saya sendiri tidak berlebaran? Selain hendak bersilaturahmi (seperti pada umumnya), saya penasaran kepingin tahu bagaimana sih open house yang diadakan oleh seorang pejabat daerah atau pemerintahan. Tujuan lain? Makan (jujur nih). Maklumlah, saya anak kost. Pada saat lebaran, jelas semua penjual makanan dan sayur mayur pada libur dan tutup. Mereka turut merayakan hari kemenangan. Kalau saya datang ke open house, kan jadi bisa makan gratis. Minimal pengiritan biaya makan satu kali lah sekaligus perbaikan gizi.
Tahun 2019 ini, sedikit berbeda. Saya memutuskan di Jakarta saja pada saat lebaran. Penasaran dan antusias bagaimana Idul Fitri di Ibukota Jakarta. Kebiasaan ke open house-nya? Ya tetap jalan. Satu atau dua hari sebelum Idul Fitri (Senin, 3/6/2019) saya sudah bertanya ke teman jurnalis di Jakarta. Apa punya jadwal open house? Nanti setelah mendapatkan jadwalnya, saya tandai beberapa lokasi open house yang hendak saya datangi.
Mendadakan
“Kok bisa ke tempat Gubernur (Rumah Dinas DKI Jakarta, Pak Anies Baswedan)?”, tanya seorang teman melalui pesan WhatsApp jalur pribadi (japri). Pertanyaan ini diajukan seusai saya mem-posting foto bersama Pak Anies Baswedan dan istrinya (Ibu Fery Feriyati Ganis) di salah satu grup WA yang saya ikuti. Sambil tersenyum-senyum saya mengetik jawabannya. “Iya cari yang dekat saja, itu juga kebetulan”.
Sebelumnya saya memang sudah terpikir di hari pertama Idul Fitri (Rabu, 5/6/2019) untuk ke open house yang digelar oleh para menteri yang rerata berlokasi di Kompleks Widya Chandra. Namun urung, pasalnya kok jauh banget dari tempat tinggal saya di Salemba. Pastilah energi, waktu dan dana saya terkuras ke sana. Kompleks Widya Chandra – yang juga dikenal sebagai kompleks perumahan para menteri kabinet Indonesia berada di Jakarta Selatan. Kondisi saya pada saat ini pun kurang fit. Jadi putar haluan saja. Oh iya, informasi mengenai Pak Anies menggelar Open House-nya saya ketahui secara kebetulan dari membaca berita di laman detik.com. Jadi kalau ada yang lebih dekat, buat apa jauh-jauh?
Lokasi Open House Pak Anies dan istri di rumah dinas (rudin) Gubernur DKI Jakarta, Jalan Taman Surapati nomor 7 Menteng, Jakarta Pusat. Saya berangkat dari kost-an di Salemba pukul 14.30 WIB dengan menumpang ojek online alias ojol. Sempat pak ojol kelewatan titik jemput, syukurlah ia lekas sadar dan kembali lagi. Sore itu cuaca masih terik. Namun karena sudah mantap ke open house ya saya jalan saja.
Tergolong mudah mencari rudin gubernur Jakarta. Secara umum, mencari rudin pejabat pastilah tak susah, apalagi kalau ada acara khusus. Tinggal cari yang di sekitar rumahnya banyak mobil parkir, kerumunan orang dan banyak tarup. Pasti tak salah lagi. Begitulah ketika saya mencari rudin lusa lalu. Lokasinya berada tepat di seberang Taman Surapati, Menteng dan agak menikung. Tarup putih telah terpasang menutupi halaman depan rumah dan antrian warga terlihat berbaris tertib untuk masuk ke acara open house. Saya kurang paham bagaimana prosedurnya karena tidak melewati jalur yang itu. Kemungkinan seperti pengamanan yang biasa dilakukan kala kita hendak masuk ke mal-mal atau hotel ya. Harus melalui pemeriksaan sekuriti dan melewati metal detector.
Menjadi yang Pertama
Seturunnya dari ojol yang mengantar, saya sudah bermaksud untuk ikut masuk antrian warga. Lumayan panjang antriannya, mungkin sekitar 10 meteran lah. Namun nasib baik menghampiri, ada bapak-bapak (yang sepertinya staf protokoler Pak Anies) menghampiri dan menyuruh saya langsung masuk ke dalam. Saya dipersilakan menuju ke rudin melalui pintu masuk yang satu lagi namun tetap ada pintu metal detector-nya (makanya tadi saya bilang kurang paham prosedur warga antri masuknya). Setiba dekat pintu masuk rumah, saya berhenti sejenak untuk mengisi daftar tamu. Lanjut saya diarahkan untuk masuk ke dalam rumah.
Sampai di sini sebenarnya saya agak bingung. Mikirnya di dalam rumah yang saya masuki itu sudah banyak warga yang antri tadi. Ternyata memang benar sudah ada orangnya. Namun berbeda. Kurang paham siapa-siapa saja yang sudah di dalam. Mereka duduk di sofa yang disediakan. Sempat berdiri menunggu sebentar di depan pintu, tak lama kemudian saya diberitahu seorang staf Pak Anies untuk duduk di sofa yang kosong. Saya pun duduk lalu timbul rasa nggak pede. Habisnya melihat orang-orang yang juga duduk disitu, nampaknya mereka ini orang berada (entah kalau orang ternama atau penting semisal pejabat atau duta besar). Saya duduk sambil sedikit mengangguk menyapa seorang ibu yang duduk sebelah kanan saya. Lagian para tamu yang duduk di situ kelihatannya kerap memperhatikan saya. Rada kikuk jadinya. Saat duduk, saya masih mengenakan jaket. Lantas saya buka dan lipat ke dalam tas mungil putih.
Sesudahnya celingak-celinguk kiri kanan melihat sekeliling isi rumah. Katrok dan ndeso banget deh saya. Belum lagi rambut yang masih basah karena keringat, rambut lepek istilahnya. Terus baru sadar juga jika baju blouse batiknya basah khususnya bagian punggung. Lagi-lagi karena keringat. Eh ini juga yang semakin membuat saya tidak pede. Habis rerata tamu-tamu yang hadir dalam ruangan itu (ibu-ibu dan bapak-bapaknya) pakai baju bagus-bagus dan berdandan rapih sekali. Malah mungkin pakai ke salon segala. Saya masih celingak-celiguk saat ada pemberitahuan kepada para tamu bahwa Pak Anies dan istri sebentar lagi akan menerima tamu open house. Para tamu yang seruangan dengan saya langsung berdiri dan berbaris rapi untuk bersalaman. Saya masih duduk saja di sofa. Kondisi kaki yang sakit sampai sementara harus ditopang tongkat ketika berjalan membuat saya malas mengantri. Pikir saya sih ya sudahlah biarkan mereka dahulu, saya di antrian terakhir saja dari para tamu itu.
Akan tetapi, tanpa diduga seorang staf Pak Anies menghampiri saya yang duduk dan memberitahu bahwa nanti saya yang pertama saja bersalaman dengan Pak Anies dan istri (kalau mereka sudah masuk ruangan menerima tamu). Dibuat kaget saya jadinya. Rasanya nggak enak mendahului pasangan suami istri yang mengantri. Sepertinya staf protokoler tadi telah memberi tahu bapak ibu pasangan suami istri tadi sehingga mereka memaklumkan saya. Ketika akhirnya Pak Anies dan istrinya masuk ke dalam ruangan, saya dengan dibantu oleh staf protokoler segera berjalan menuju ke beliau dan bersalaman. Saya sempat menganggukan kepala kepada bapak dan ibu yang telah memberikan gilirannya kepada saya.
Menjabat tangan Pak Anies dan istri saya mengucapkan Selamat Idul Fitri dan sempat berbicara sedikit bahwa saya berasal dari Bandar Lampung. Pak Anies menjawab, jauh sekali – dengan senyum khas-nya. Lalu kami bertiga foto bersama. Seusai berfoto saya dibantu staf-nya diarahkan ke halaman belakang, di sana telah terpasang tarup dan tersedia berbagai makanan khas Idul Fitri dan khas Jakarta seminal ketupat opor dan rendang, kerak telor, soto Betawi, buah potong dan lain-lain. Warga yang datang boleh menyantap semua itu.
Ada sedikit catatan soal kuliner dan warga yang datang ke open house. Saya dibuat heran oleh semangat makan mereka. Meskipun gratis, tetap kan makanannya bejibun di sana. Hebatnya semuanya lahap masuk perut mereka. Sementara saya, makan sepotong ketupat opor saja sudah lemas mengunyahnya. Berapa lama tuh saya memerlukan waktu untuk menghabiskan seporsi opor ketupat dan lauk pendampingnya? Tak jauh dari tempat duduk, saya melihat sampai ada warga – yang sekeluarga – sedang makan dan mereka menyantapnya sambil duduk di lantai. Lahap banget sekeluarga itu menyantap hidangan yang tersedia. Ya orangtuanya, anak-anaknya dan entah siapa lagi. Sungguh saya kagum dengan semangat ’45 mereka.
Merasakan Keramahan
Andaikata Pak Anies sempat atau memiliki waktu, sebenarnya saya berniat untuk mengobrol sebentar dengan beliau. Saya kepingin sharing mengenai transportasi publik di Jakarta, khususnya TransJakarta dan terkait dengan kaum penyandang autoimun. Mengapa TransJakarta? Sebab saya merupakan pengguna transportasi ini juga. Pelayanan TransJakarta selama ini sudah baik, Namun ada harapan untuk lebih baik seperti usulan atau ide untuk mengatasi warga yang berkendaranya menerabas jalur khusus TransJakarta ataupun mengenai kapasitas maksimal penumpang dari sebuah bus Trans.
Mengapa kaum penyandang autoimun? Karena sepengamatan saya, mereka ini masih termarjinalkan keberadaannya dalam masyarakat dan kehidupan, tak terkecuali di Ibukota Jakarta. Cukup sering saya mendengar cerita kawan sesama penyandang autoimun tentang bagaimana mereka didiskriminasikan di tempat kerja karena kondisinya itu atau bagaimana betapa deg-degan-nya mereka berpergian dengan kendaraan umum. Mengenai hal ini saya sangat mengerti, toh saya pun seorang dengan autoimun jenis SLE (lupus) dan AIHA. Oh ya sedikit penjelasan mengenai autoimun, ini adalah penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh. Mengutip alodokter.com, penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing. Sehingga sistem imunitas tubuh akan melepaskan protein yang disebut autoantibodi untuk menyerang sel-sel tubuh yang sehat.
Pada orang dengan autoimun, kondisi tubuh bisa jadi tidak jelas. Semisal bisa tiba-tiba mengalami kelelahan, mood yang berubah-ubah, nyeri-nyeri sekujur tubuh dan lain-lain. Itulah mengapa menjadi sesuatu yang membuat khawatir hati bagi kalangan orang dengan autoimun untuk berpergian dengan transportasi publik. Sedangkan di tempat kerja, dengan kondisi tersebut, (para orang dengan autoimun) alih-alih membantu malah tak jarang dianggap menjadi beban. Padahal kebanyakan orang dengan autoimun sejatinya masih berusia produktif. Sebagai contoh untuk penyakit lupus yang kebanyakan menyerang perempuan usia 15-45 tahun. Jadi saya ingin urun ide bagaimana supaya mereka ini bisa mendapatkan solusi terbaik dengan kondisi yang mereka alami. Kaum autoimun bukanlah tidak bisa bekerja. Mereka bisa hanya ada batasannya dan karena keterbatasan inilah adakalanya digolongkan sebagai beban di tempat kerja mereka.
Kemudian satu lagi, mengapa saya berkeinginan menyampaikan hal-hal tersebut? Padahal secara status bukanlah ber-KTP Jakarta? Saya teringat kalimat bijak: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Maka inilah yang sedang saya lakukan. Lebih jauh lagi, saya lebih memandangnya sebagai kepedulian yang ditujukan untuk kepentingan bersama sehingga tak masalah walaupun saya bukan KTP Jakarta.
Sayangnya kesempatan tersebut tidak terealisasi. Ketika diberitahu staf untuk mendapat giliran pertama bersalaman, saya sempat mengutarakan niatan tersebut kepada staf tadi dan dijawabnya bahwa Pak Anies harus menemui banyak orang sore ini di acara open house-nya. Ya saya maklum dan sempat berusaha mencari celah dengan menunggu hingga acara open house selesai. Siapa tahu ya Pak Anies ada waktu luang di sela open house. Nyatanya harapan itu sirna.
Tapi saya tak berkecil hati. Bisa datang, bersalaman, berfoto dengannya saja sudah cukup puas. Terlebih saya diperlakukan dengan baik. Saya yang sejatinya bukan siapa-siapa diperlakukan selayaknya VVIP pada momen itu. Para staf yang sangat respek membantu saya – yang saat itu karena kondisi lupus kurang baik menjadikan saya harus berjalan dibantu oleh tongkat. Saya pun dipersilakan mendapatkan giliran pertama bersalaman dengan Pak Anies dan istri, masuk ke dalam open house melalui jalur khusus. Bahkan saat pulang pun saya masih dibantu. Open House yang diadakan oleh Pak Anies mungkin sederhana tetapi sangat berkesan untuk saya dan terasa sekali keramahannya (Jakarta – Jumat, 7 Juni 2019).